Pentingnya UU Keamanan dan Resiliensi Siber

Anda bisa menjadi kolumnis !

Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Daftar di sini

Kirim artikel

Editor Sandro Gatra

ANCAMAN siber lintas negara semakin nyata. Sementara saat ini banyak negara,termasuk Indonesia,belum memiliki regulasi memadai yang fokus mengatur keamanan dan resiliensi siber.

Lalu,apakah Indonesia memerlukan UU keamanan dan resiliensi siber? Data berikut dapat menjadi premis.

Pertama,World Economy Forum dalam laporan yang ditulis Robert Muggah dan Mac Margolis bertajuk "Why we need global rules to crack down on cybercrime" (2/01/2023),menyebut kerugian akibat kejahatan dunia maya bisa mencapai 10,5 triliun dollar AS per tahun pada 2025. Sasarannya individu hingga pemerintah dan infrastruktur penting.

Penjahat siber beroperasi secara internasional dan lintas negara. Persoalan ini harus menjadi agenda utama negara,perusahaan,dan organisasi internasional di mana pun.

Laporan itu menyebut,teknologi baru meningkatkan jangkauan dan dampak serangan malware dan ransomware. Angka keduanya melonjak lebih dari 350 persen dan 430 persen pada 2020.

Kedua,laporan Statista berjudul “Estimated cost of cybercrime worldwide 2018-2029” (27/06/2024) mengulas indikator global perkiraan biaya kejahatan siber. Diprediksi angka ini akan terus meningkat pada 2024-2029,dengan total nilai 6,4 triliun dollar AS.

Biaya kejahatan siber mencakup kerusakan dan penghancuran data,pencurian,hilangnya produktivitas,pencurian kekayaan intelektual,pencurian data pribadi dan keuangan,penggelapan,dan penipuan.

Biaya kejahatan siber juga mencakup gangguan pasca-serangan terhadap kegiatan bisnis normal,investigasi forensik,pemulihan dan penghapusan data dan sistem yang diretas,dan kerusakan reputasi (Steve Morgan 2020).

Laporan Statista juga menunjukan,pada 2023 korporasi di dunia,menjadikan peningkatan ketahanan siber sebagai prioritas pengeluaran teratas. Biaya kejahatan siber diperkirakan akan terus meningkat pada 2024 dan 2029.

Nilai kejahatan siber menurut Statista diproyeksikan akan mencapai puncaknya pada 2029,dengan total biaya mencapai 15,63 triliun dollar AS.

Ketiga,data terbaru diungkap Forbes (8/05/2024). Dilaporkan,setelah peningkatan selama sebelas tahun berturut-turut,indikator diperkirakan akan mencapai 15,63 triliun dollar AS,yang mencapai puncaknya pada 2029.

Keempat,dari berbagai bentuk serangan siber,ransomware adalah modus yang paling sering terdeteksi,dan mencakup sekitar 70 persen dari semua insiden.

Industri manufaktur menghadapi jumlah serangan ransomware tertinggi,bahkan menjadi target global tertinggi.

Kelima,data lain juga diungkap Pemerintah AS melalui FBI. Pada 2023,FBI melaporkan bahwa kerugian finansial yang diakibatkan serangan siber di AS mencapai lebih dari 10 miliar dollar AS.

Komparasi

Indonesia sudah saatnya memiliki UU keamanan dan resiliensi siber. Agar UU yang dibentuk memiliki efektivitas dan bisa menjawab kebutuhan,maka materi muatannya harus menjangkau realitas siber terkini.

Penafian: Artikel ini direproduksi dari media lain. Tujuan pencetakan ulang adalah untuk menyampaikan lebih banyak informasi. Ini tidak berarti bahwa situs web ini setuju dengan pandangannya dan bertanggung jawab atas keasliannya, dan tidak memikul tanggung jawab hukum apa pun. Semua sumber daya di situs ini dikumpulkan di Internet. Tujuan berbagi hanya untuk pembelajaran dan referensi semua orang. Jika ada pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual, silakan tinggalkan pesan kepada kami.
©hak cipta2009-2020 Aceh Life Network      Hubungi kami   SiteMap